Oleh: Polce R.T Dethan, S.Si-Teol,MM
Delapan puluh tahun kemerdekaan adalah delapan puluh tahun cerita. Cerita tentang darah yang tumpah di medan perang, tentang peluh yang menetes di sawah dan laut, tentang kata-kata yang lahir dari hati yang ingin merdeka. Kemerdekaan ini bukan hadiah yang jatuh dari langit, melainkan buah dari tekad untuk melampaui perbedaan, menundukkan ego, dan menatap masa depan bersama.
Kini, delapan dekade setelah proklamasi itu dibacakan, Kabupaten Kupang berdiri di persimpangan sejarahnya sendiri. Pilkada telah lewat, pertarungan suara telah usai dan pemenang telah ditetapkan. Yosep Lede dan Aurum O. Titu Eki, kini menjadi Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kupang. Bukan Bupati dan Wakil Bupati untuk satu kelompok atau barisan, tetapi Bupati dan Wakil Bupati untuk seluruh rakyat Kabupaten Kupang – dari pesisir Semau hingga puncak Amfoang – dari jembatan Noelmina hingga Pelabuhan Bolok.
Namun, seperti halnya pasca perang, sisa-sisa luka politik sering kali masih terasa. Ada tatapan yang dingin, ada senyuman yang kaku, ada percakapan yang terputus karena sekat pilihan di masa lalu. Inilah saatnya kita mengingat pelajaran sejarah: bangsa ini lahir bukan karena satu suara, tetapi karena semua suara akhirnya memilih untuk bersatu.
Di tengah iklim birokrasi yang kerap berjalan lambat dan penuh kompromi, nama Yosep Lede, muncul sebagai figur yang mencolok. Gaya kepemimpinannya dikenal tegas, lugas, bahkan tak jarang dinilai “kasar” oleh sebagian orang yang baru mengenalnya. Kata-katanya keras, nadanya tinggi, dan ia tak segan menegur pejabat atau bawahannya di depan umum jika dianggap lalai atau lamban menjalankan tugas.
Ketegasan yang lahir dari kegelisahan terhadap kemiskinan, ketidakadilan dan ketimpangan. Ia menyadari bahwa untuk membenahi Kabupaten Kupang—dengan segala tantangan geografis dan kultur sosialnya—dibutuhkan kepemimpinan yang kuat, bukan basa-basi. Bukan menjadi pemimpin yang hanya hadir dalam seremoni, tapi ingin meninggalkan warisan kerja nyata yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat, terutama mereka yang paling miskin dan terpinggirkan.
Kepemimpinan yang kuat kadang terdengar bernada kasar di telinga, bagai “suara iblis” yang mengguncang dan memaksa kita keluar dari zona nyaman. Tapi di balik nada itu, jika kita mau jujur, sering kali bersemayam “hati malaikat”, hati yang mau memikul beban, berkorban demi kebaikan bersama, bahkan ketika harus dibenci demi mengatakan yang benar.
Tidak semua kebaikan datang dengan belaian lembut, kadang ia datang sebagai teguran keras yang menyadarkan kita. Winston Churchill pernah berkata, “You have enemies? Good. That means you’ve stood up for something, sometimes in your life”
Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Kabar-Independen.Com
+ Gabung
Tetap Terhubung Dengan Kami:



CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.