Angin mengantarkan musimnya hari ini. Dari atas langit Nusa cendana wangi, Timor Amarasi, memberkati.
Bunga-bunga pinang mekar, aroma sirih menyebar.
Teunraen-buraen. Nonbes-tunbes. Teu’baun-heobaun,
mengalirkan kebahagiaan, mereka nok manse sae ne, tarantea manse mouf ne.
Seisi Flobamora bersorak, pohon pisang bergoyang, kelapa menari, menyambut datangnya Meo-Meo.
Mari masuk dalam uim adat, lepas dosa, keluar dari tali pusat.
Bunga-bunga melingkar di leher, sit knino menyatu dalam tulang-tulang.
Kau yang terpanggil, dari jutaan Meo yang menangis di dalam pangkuan ibumu sendiri.
Maka sekarang kau Flobamorata.
Jantungmu, darahmu, tulang-tulang mu, nyalimu, dan hatimu. sengsaramu, kesepianmu, serta segala perbuatanmu adalah Flobamora.
Sebab itu terimalah beban 5,3 juta jiwa rakyat ini di pundakmu.
Minum air mata mereka di gelasmu. Makan kelaparan mereka di piringmu, bangunkan impian mereka dalam kerjamu. Pikul keresahan mereka di atas dagingmu.
Sekarang kau harus keluar dari gedung mu.
Pergilah ke negeri-negeri, masuklah ke dalam mata rumah rakyatmu, di bilik dinding-dinding. Ada kemiskinan yang telah merobohkan iman mereka.
Kelapa telah tumbang, diganti dengan tambang.
Tanah kian sempit, dijepit konglomerat dan berapa nyawa yang telah melayang demi makan satu hari.
Pergilah ke dusun-dusun, masuklah ke hutan-hutan, lihatlah rakyatmu yang hidup dari pertanian. Lihat bagaimana anak-anak mereka tanpa pendidikan, tanpa sandal keadilan, tanpa sekolah, tanpa guru tanpa masa depan.
Lihat baik-baik seperti apa cita-cita seorang anak petani, yang disiksa oleh keadaan dan dibunuh oleh janji-janji kesejahteraan. Lihat bagaimana rakyatmu yang ditipu oleh investor-investor, semudah memberi gula-gula pada anak-anak. Sambil kau mesti ingat…!!! sekarang rakyatmu adalah keluargamu. Anak mereka adalah anakmu. Anak petani adalah anakmu. Anak nelayan adalah anakmu. Anak jalanan adalah anakmu. Anak panti asuhan adalah anakmu. Anak cacat adalah anakmu. Janda adalah istrimu. Lansia adalah orang tuamu. Orang gila adalah kewarasanmu. Kau bukan lagi milik anak istrimu, melainkan milik nusa cendana wangi, Flobamora.
Kau mesti rela, menginjak lumpur kehidupan. Menginjak tanah kotor. Kemewahan mu mulai sekarang adalah kebahagiaan rakyatmu, kemewahan keluargamu mesti menjadi keadilan bagi rakyatmu.
Lalu, pergilah ke gunung-gunung. Lihat rakyatmu yang saban hari mati. Bayi-bayi yang mati sebelum sempat melihat Flobamorata. Tanpa bidan, dokter, tanpa ada bangunan puskesmas. Lihat perempuan-perempuan tangguh, yang berjalan berkilo-kilo meter dan mati sebelum mendengar tangis pertama anak mereka. Keadilan masih jauh, bagi mereka yang hidup tanpa listrik, tanpa akses tranportasi, tanpa pendidikan dan jaminan kesehatan.
Pergilah kepada rakyatmu yang di pesisir. Lihat bagaimana lumbung ikan menjadi lambung mereka, dan harapan sebagai nelayan yang sampai detik ini, masih menjadi angan-angan.
Seperti musim barat meniup musim timur. Seperti angin menipu ombak-ombak. Seperti kail tanpa umpan, dan sudah tentu tanpa ada hasil tangkapannya. Seperti membuang jaring ke atas pasir. Seperti menggugurkan air mata di tengah laut, betapa sama asinnya.
Datanglah pada kami rakyatmu, tanpa membawa teori yang tak perlu.
Kelor sudah di mana? TJPS sudah sampai mana? Bagaimana mau tanam jagung, sedangkan sapi-sapi makan kembali jagung.
Bawakan makanan pada kami. Bawakan harapan pada kami. Sebab pemuda kami banyak yang menganggur. Banyak yang punya cita-cita tapi tak punya uang. Banyak yang punya kemampuan tapi tak punya orang dalam.
Banyak yang punya harapan, tapi bahkan tak punya sarapan.
Datanglah pada kami rakyatmu, yang telah kehilangan kepercayaan ini.
Katakanlah pada masa lalu kami, bahwa kamu adalah masa depan kami!
Sebab janji-janji perubahan, janji kemakmuran, selama ini hanya tampak pada baliho, bukan pada kenyataan.
Meo-meo…Saat politik kepentingan mulai masuk pada agama, pada suku, didandani secantik-cantiknya, saat itu pula petani sopi kehilangan rejekinya, di ganti Sopia untuk kalangan borjuis. pariwisata kekurangan daya tariknya, pegawai buruk pelayanannya, orang kehilangan tanahnya, suku-suku kehilangan rumahnya, hak asasi manusia murah harganya, hukum dibeli sebisanya, orang-orang makan remah-remah yang tersisa di dapurnya, saudara jadi kambing hitam, dari Meo penguasa.
Saat gedung-gedung bertingkat dibangun, saat kontraktor menyerbu, saat mall-mall bertarung, saat itu juga rumah-rumah kumuh bertambah, orang miskin bertambah, kasus penipuan tanah bertambah, korban kekerasan bertambah. Rakyat tak butuh proyek gagal. Pembangunan infrastruktur tak berdampak pada apa yang bisa kami makan hari ini.
Kami sudah muak mendengar korupsi, sebab telinga sudah penuh juga mendengar politik praktis. Sementara kekerasan terhadap perempuan bertambah. Prostitusi bertambah subur. Kasus perselingkuhan pejabat merajalela. Dan semua itu sekali lagi tak berdampak pada apa yang dapat anak kami makan hari ini. Jangan didik kami dengan uang, didiklah kami dengan kerja. Bekerja dengan jujur adalah mulia.
Hari ini, bedak seorang janda lebih tebal dari iman seorang duda. Hari ini, daki di badan seorang atoni pah meto, lebih tebal dari kejujuran para Meo.
Meo… Sekarang di bahumu, kami serahkan jutaan harapan rakyat beserta derita mereka. Kami ingin sejahtera, makan yang cukup, lapangan kerja, ekonomi yang berkembang, pendidikan yang layak, pelayanan kesehatan yang memadai, hidup damai tanpa berkelahi, tanpa diskriminasi. Kami ingin hidup dalam kemakmuran dan dalam kasih.
Di depan merah putih, kita Teriakan merdeka…merdeka..merdeka
Teriakan eka….eka, kita adalah persatuan, Eka dalam bhineka, eka dalam merdeka, kita adalah mereka.
kita bukan boneka
Diam adalah neraka
Luka adalah celaka
Cinta mesti berkobar
Cinta mesti membakar
Cinta mesti mengakar
Cinta mesti menyebar, menyebar
Ikutlah aku
Nyalakan apimu
Kibarkan benderamu
Rayakan merdeka mu.
Meo…meo…meo
Kami percaya padamu MEO, sebab Tuhan yang menghadirkan mu untuk kami pilih. Maka segala sesuatu yang akan kau perbuat nantinya untuk kami, adalah untuk rakyat dan adalah untuk Flobamorata. Eka merdeka. (*)
Tetap Terhubung Dengan Kami:
CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.